Sejarah Aceh sebagai wilayah yang sulit ditaklukan Belanda Lengkap
Haii
Historian, kembali lagi di channel delta buana, kali ini kita akan membahas
sejarah dari kota yang dijuluki sebagai serambi mekkah yaitu Aceh. Sebagai Daerah yang terletak di
bagian paling barat kepulauan Nusantara, ternyata wilayah Aceh sejak dulu telah
menduduki posisi yang strategis, sebagai pintu gerbang dari perniagaan dan juga
kebudayaan, yang menghubungkan antara Timur dan juga Barat sejak berabad-abad yang
lalu.
Untuk saat ini, Jika dibandingkan dengan daerah
atau provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif dalam (menjunjung
tinggi nilai-nilai agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi
di Indonesia dan mereka juga hidup sesuai dengan syariah Islam. Berbeda dengan
kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh juga memiliki status sebagai daerah
istimewa, dan juga diberi kewenangan otonomi khusus karena alasan sejarah. Karena
dalam sejarahnya, dahulu wilayah Aceh ini merupakan tempat singgahnya para
pedagang yang berasal dari Cina, Eropa, India dan juga Arab, sehingga
menjadikan daerah Aceh sebagai daerah pertama dalam masuknya budaya dan agama
di kawasan Nusantara.
Bahkan nama Aceh sendiri sudah dikenal luas oleh
berbagai bangsa dengan banyak nama. seperti Aceh dalam bahasa Belanda disebut
Atchin atau Acheh, dalam bahasa Inggris disebut Achin, dalam bahasa Perancis
disebut Achen atau Acheh, dalam bahasa Arab disebut Asyi, kemudian dalam bahasa
Portugis disebut Achen atau Achem dan dalam bahasa Tionghoa disebut sebagai
A-tsi atau Ache). Bahkan Pada awal abad ke-17, wilayah Aceh yang dikuasai
oleh Kesultanan Aceh
adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. dikarenakan dalam sejarahnya, Aceh sangat
menolak keras kendali dari bangsa asing, termasuk penjajah Belanda, bahkan
Belanda sangat kesusahan dan melakukan berbagai macam cara dalam menaklukan
wilayah ini yang dimulai pada 1873 hingga 1904.
Jadi semakin Penasarankan bagaimana sejarah dari Kota Aceh ini, dan mengapa kota ini bisa dijuluki sebagai serambi Mekkah, yuk simak terus penjelasan berikut, yang dapat kalian lihat sumbernya di deskripsi video.
1.
Sejarah Aceh Pra Kerajaan
Dalam sejarahnya Aceh ternyata telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum, hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai peninggalan zaman tersebut. Yang ditemukan di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu pada situs lain yang dinamakan dengan Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan sederhana lainnya.
Selain itu di kabupaten Aceh Tamiang, memiliki peninggalan kehidupan prasejarah di Aceh yang ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia prasejarah yang telah berlangsung disini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun yang lalu.
Legenda rakyat Aceh menyebutkan bahwa penduduk Aceh berasal dari suku Mante (Mantir) dan suku Lhan (Lanun). Suku Mante merupakan etnis lokal yang diduga berkerabat dengan suku Batak, suku Gayo, dan Alas.Sedangkan suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung Malaya atau Hindia Belakang (Champa, Burma). Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. secara etnologi disebutkan bahwa suku Mante memiliki hubungan dengan bangsa Funisia di Babilonia atau Dravida di lembah sungai Indus dan juga Gangga, namun hal tersebut belum dapat ditetapkan kebenarannya oleh para ahli kepastiannya.
2.
Sejarah Aceh Zaman Kerajaan
Ternyata dahulu wilayah Aceh ini tidak hanya menyimpan sejarah tentang kejayaan peradaban Islam semasa Kesultanan Aceh saja. Karena Jauh sebelum Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat Aceh, agama Hindu telah terlebih dahulu berkembang. Salah satu saksi bisu masa keemasan kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng Indra Patra ini terdiri dari sebuah benteng utama yang berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain yang dua diantaranya telah hancur. Situs arkeologi ini didirikan sekitar tahun 604 M oleh Putra Raja Harsya yang berkuasa di India, yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna. Keberadaan benteng ini menjadi peninggalan sejarah mengenai proses masuknya pengaruh Hindu dari India ke Aceh. Diperkirakan pada saat itu, Kerajaan Hindu, yaitu Lamuri, mulai berkembang di daerah Pesisir Utara Aceh Besar. Benteng ini merupakan satu dari tiga benteng yang menjadi penanda wilayah segitiga kerajaan Hindu Aceh, yaitu Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purwa.
Pakar arkeologi yaitu Repelita Wahyu Oetomo, dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya yang berjudul 'Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai' mengungkapkan, secara arsitektur, beberapa bagian benteng memang masih memiliki motif bangunan berciri Pra-Islam. Hal ini terlihat antara lain pada dua sumur di area benteng utama yang berbentuk menyerupai stupa. Dalam aspek fungsionalitas, benteng ini mengalami perkembangan sehingga masih dipergunakan hingga masa Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.
Pada masa itu Kerajaan Lamuri menjadi wilayah
yang ramai dan menjadi salah satu wilayah Pelabuhan yang berada dalam kekuasaan
dari Kerajaan Sriwijaya, seperti (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan Lampung selanjutnya diikuti Sungsang
serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur sungai Musi dimana
dalam hegemoni alur perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti dan
menyerahkannya kepada Sriwijaya. Namun karena kemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada
dari raja Rajendra dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan
serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk (Lamuri) dan juga
Takuapa (Kedah) yang ikut dihancurkan.
Kejadian ini juga tercatat dalam prasasti Tanjore
di India. Dan akibat dari serangan ini tidak hanya berdampak terhadap
Srwiwijaya melaikan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya termasuk runtuhnya
kerajaan lamuri yang kemudian terpecah menjadi beberapa kerajaan-kerajaan kecil
yang nantinya di satukan oleh kesultanan Aceh.
3. Sejarah Aceh Zaman Kesultanan
Setelah berakhirnya masa Kerajaan Hindu
di Aceh yang kemudian di kuasai oleh Kesultanan Aceh, Pada masa inilah Aceh
kembali bangkit dan mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-17, pada masa
pemerintahan dari Sultan Iskandar Muda,
hingga pada masa itu Aceh mendapat julukan "Seuramo Mekkah" (Serambi
Mekkah) karena Perekonomian di Aceh waktu cukup maju yang bertumpu pada
perdagangan rempah-rempah. Serta banyak saudagar dari berbagai penjuru
Nusantara dan dari luar negeri seperti Arab, India, Iran dan China yang
berlabuh.
Mereka juga membawa ulama dan para pelajar untuk
datang ke aceh. Pada saat itu, Aceh juga menjadi tempat singgah sebelum
berangkat ke Mekkah, sehingga wilayah ini mendapatkan julukan sebagai Serambi
Mekkah.
Pada awalnya Kesultanan Aceh ini didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah, pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan Aceh ini berdiri diatas wilayah dari Kerajaan Lamuri, yang kemudian terpecah dan kemudian Kerajaan Aceh berhasil menundukan dan menyatukannya yang mencakup daerah Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Kesultanan Samudra Pasai sudah menjadi bagian dari Kesultanan Aceh dan diikuti dengan wilayah Aru pada tahun 1528, kemudian Sultan Ali Mughayat Syah digantikan oleh anaknya yang bernama Salahuddin, yang kemudian memerintah hingga tahun 1537. Dan digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar melalui sebuah kudeta. Pada masa inilah Beberapa kali melakukan serangan kejohor dan terus menjalin persahabatan dengan kerajaan islam di indonesia lainnya terutama yang berada di pulau jawa.
Namun setelah itu kondisi dari kesultanan tidak
stabil karena para sultan yang memipin dianggap sewenang wenang sehingga
dilakukanlah kudeta, hal ini tertulis dalam Sebuah Hikayat Aceh yang mengatakan
bahwa Sultan yang dikudeta secara paksa adalah Sultan Sri Alam, yang dikudeta
pada tahun 1579 karena sikapnya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta dari kerajaan kepada para pengikutnya. Kemudian Penggantinya
yaitu Sultan Zainal Abidin dibunuh beberapa bulan kemudian karena sikapnya
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan gemar melakukan adu binatang.
Kemudian tahta diambil alih oleh Alaiddin Riayat
Syah Sayyid al-Mukamil dari anggota Dinasti Darul Kamal pada tahun 1589. Ia
mengakhiri periode ketidak-stabilan terhadap kerajaannya, dengan membrantas
para orangkaya yang berlawanan dengannya, sambil memperkuat kedudukannya
sebagai penguasa absolut di Kesultanan Aceh yang dampaknya dapat dirasakan pada
sultan sesudahnya.
Kesultanan Aceh juga melakukan ekspansi dan perluasan wilayah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (tahun 1607 – 1636) atau dikenal juga sebagai Sultan Meukuta Alam. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh berhasil menaklukkan wilayah Pahang yang merupakan penghasil sumber utama dari timah. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melaksanakan penyerangan terhadap tentara Portugis yang berada di Melaka dengan armada yang mencapai 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara angkatan laut. Serangan ini dilakukan dalam upaya memperluas dominasi Kesultanan Aceh atas daerah Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi yang dilakukan Kesutanan Aceh ini mengalami kegagalan, meskipun pada tahun yang sama Kesultanan Aceh berhasil menduduki daerah Kedah dan banyak membawa penduduk Kedah ke Aceh.
Namun sayangnya karena berbagai faktor
menyebabkan kemakmuran dari Kesultanan Aceh ini mengalami keruntuhan salah satunya
adalah serangan dari Belanda yang ngotot untuk menguasai wilayah Aceh meskipun
harus susah payah dan beberapa kali mengalami kegagalan akhirnya mereka
berhasil menguasai wilayah Aceh pada Januari, tahun 1903. Kala itu Kesultanan
dipimpin oleh Sultan Muhammad Daud Syah yang akhirnya menyerahkan diri kepada
negara Belanda setelah istri, anak serta ibundanya ditawan oleh tentara
Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud
menyusul untuk menyerahkan diri pada tahun 1903 pada bulan September.
Perjuangan rakyat Aceh kemudian di lanjutkan oleh
ulama Chik di Tiro dan berakhir ketika Mahyidin di Tiro atau Teungku Mayed
tewas ketika perang pada tahun 1910 di Gunung Halimun.
4 . Sejarah
Aceh Pada Masa Kolonial
Setelah seluruh wilayah di Aceh berhasil direbut oleh
pemerintah kolonial Belanda. Kemudian perlahan Bangkit rasa nasionalisme pada
masa kekuasaan Belanda, Bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan
wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan
nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis
Indonesia. Saat Volksraad atau (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih
sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh
oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan, kemudian hal ini mendapatkan
angin segar Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis
Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang
Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh.
Negosiasi pun dimulai di tahun 1940. Setelah
beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan
militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka
disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke
Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh. Awalnya Jepang
bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, serta mnereka
juga menghormati kepercayaan dan adat
istiadat rakyat Aceh yang bernafaskan syariaat Islam. Namun ketika keadaan
sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan
mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam
pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi,
sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam.
Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe. Dan perjuangan Rakyat Aceh pun berhasil ketika Jepang akhirnya menyerah kepada sekutu, sehingga membuat kekuasaanya di Indonesia berhasil di Ambil Alih dan membuat Indonesia berehasil memprokalamasikan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945.
5. Sejarah Aceh pada masa Kemerdekaan dan julukan
Daerah Istimewa
Pada masa perang kemerdekaan, Sumbangan dan
keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden
Pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah
Modal” pada daerah Aceh. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat,
Aceh merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia
sebagai sebuah karesidenan dari Propinsi Sumatera.
Bersamaan dengan pembentukan keresidenan Aceh,
berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober
1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen. Kedudukan daerah Aceh sebagai
bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami
perubahan status. Pada masa revolusi kemerdekaan, Kresidenan Aceh pada awal
tahun 1947 berada di bawah daerah administratif Sumatera Utara. Sehubungan
dengan adanya agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, Keresidenan
Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah militer yang
berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku
Muhammad Daud Beureueh.
Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah
Militer namun keresidenan masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5
April 1948 ditetapkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera
menjadi 3 Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera
Selatan. Propinsi Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan
Tapanuli Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin.
Kemudian Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh
dikeluarkan dari Propinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya
menjadi Propinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur
Propinsi Aceh. beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah
pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi
Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini
menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan,
ketertiban dan juga ketentraman masyarakat.
sehingga dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan
kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Aceh. Namun
gejolak politik di Aceh belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas
Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi
yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang
berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh.
Hasil misi tersebut ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi status sebagai “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun hal ini menimbulkan konflik tersendiri bagi Indonesia karena daerah lain kecewa dan merasa hal tersebut tidak adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan. Sehingga Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian pada tahun 2009 Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") diubah menjadi Aceh hingga saat ini.
Nah itulah tadi penjelasan mengenai sejarah dari
kota Aceh semoga informasi ini bisa menambah wawasan kita, jika ada kekurangan
dapat kalian sampaikan dikolom komentar ya, dan mohon dukungannya dengan klik tombol like and
share ya agar bermanfaat juga bagi orang lain, sampai jumpa dipembahasan
selanjutnya.
0 Response to "Sejarah Aceh sebagai wilayah yang sulit ditaklukan Belanda Lengkap"
Post a Comment